Thursday 28 December 2017

Pengabdian Masyarakat: Dasar-dasar Public Speaking

Pengabdian Masyarakat adalah salah satu syarat dari Tridarma Perguruan Tinggi. STIBA Nusa Mandiri, bersama dengan PPPM-Nusa Mandiri mengadakan agenda rutin yang setiap semesternya menjadi agenda wajib bagi dosen-dosen di lingkungan Nusa Mandiri. Pengabdian masyarakat kali ini diadakan pada Tanggal 14 Desember 2017, bertempat di Yayasan Panti Asuhan Ar Ridho Sawangan, Depok, Jawa Barat.

Hujan deras yang mengguyur kota Depok sepanjang hari, tidak menyurutkan semangat panitia serta dosen-dosen pengajar yang akan memberikan materi mengenai Dasar-dasar Public Speaking kepada anak-anak panti asuhan Ar Ridho. Sesuai agenda, rangkaian kegiatan pengabdian masyarakat rencananya akan dimulai pada pukul 15:30 WIB selepas shalat Ashar berjamaah bersama para pengurus dan anak-anak panti asuhan.

Acara dipimpin oleh pembawa acara bapak Danang Dwi Harmoko dan dimulai dengan pembacaan doa terlebih dulu. Selanjutnya yaitu sambutan yang disampaikan oleh Ustadz Ali selaku perwakilan dari Panti Asuhan, kemudian dilanjutkan oleh sambutan dari Ibu Hj. Kartini Salman selaku ketua yayasan, dan yang terakhir sambutan dari perwakilan STIBA Nusa Mandiri oleh Bapak Sayyid Khairunas. Dalam sambutannya, Ibu Kartini menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada segenap keluarga besar Nusa Mandiri yang telah hadir untuk bersilaturahim sekaligus sharing ilmu kepada anak-anak panti asuhan Ar Ridho, beliau juga mengungkapkan semoga apa yang diberikan oleh bapak-bapak dosen dari STIBA Nusa Mandiri bermanfaat bagi anak-anak di panti tersebut, terakhir beliau juga berharap semoga ke depannya acara serupa dapat rutin digelar sehingga dapat saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Tiba saatnya bagi STIBA Nusa Mandiri melakukan penyampaian materi. Kali ini sebagai pemateri adalah Bapak Arif Hidayat, M.Hum. Terlihat anak-anak menyimak dengan cukup antusias materi yang diberikan. Terdapat kurang lebih 30 anak yang terdiri dari tingkat SMP dan SMA yang menjadi peserta pengabdian masyarakat kali ini. Pak Arif menyampaikan kalau public speaking, termasuk ke dalam salah satu skill yang penting untuk dikuasai. Memang, mungkin mereka tidak akan mendapatkannya di mata pelajaran sekolah, tapi mereka bisa melatih melalui pengalaman berorganisasi yang sudah pasti akan melatih banyak area soft skill mereka di sana, salah satunya yakni confidence serta public speaking itu sendiri.

Setelah penyampaian materi selama kurang lebih 60 menit, ada salah satu peserta yang bertanya kira-kira seberapa penting public speaking dalam dunia kerja nanti. Pak Arif menjawab kalau kemampuan dalam menyampaikan pendapat, serta berbicara di depan umum merupakan hal yang mutlak untuk dimiliki. Apalagi jika memang kelak pekerjaan kita menuntut untuk bertemu atau berbicara dengan banyak orang, seperti menjadi guru, dosen, MC, dll. Lebih lanjut, beliau mengungkapkan kalau dalam dunia kerja, pintar saja tidak cukup. Ada banyak hal yang akan dihadapi kelak yang menuntut kita menguasai beberapa kemampuan-kemampuan yang tidak ada dalam mata pelajaran di sekolah seperti communication skills, problem solving, attitudes, dan sebagainya. Anak-anak panti asuhan terlihat sangat serius dalam menyimak apa yang disampaikan oleh pemateri.

Selesai sesi tanya jawab, Pak Arif kemudian menutup sesi penyampaian materi. Meskipun singkat, semoga apa yang disampaikan bermanfaat dan dapat membuka khazanah pengetahuan anak-anak panti asuhan, serta diharapkan pula mereka mempunyai kemampuan yang baik dalam hal public speaking serta interpersonal skills sehingga mampu bermanfaat bagi hidup mereka ke depannya. Acara terakhir yaitu penutup, berupa pemberian souvenir dari STIBA Nusa Mandiri kepada Yayasan Panti Asuhan Ar Ridho. Pemberian bingkisan tersebut diwakili oleh bapak Ari Iswanto dari pihak STIBA Nusa Mandiri.



Diakhiri dengan sesi berfoto bersama, maka berakhir lah rangkaian kegiatan pengabdian masyarakat STIBA Nusa Mandiri kali ini. Semoga saling terjalin kekeluargaan antara STIBA Nusa Mandiri dengan Yayasan Panti Asuhan Ar Ridho yang berkesinambungan ke depannya.

[Sayyid-STIBA]

Sunday 15 October 2017

Lampung: Alam yang Tertata Rapi, Bahasa yang Ditinggal Pergi

April 2017, saya beserta 2 orang teman berangkat menuju ke Pelabuhan Merak dari Terminal Kampung Rambutan pada pukul 21:00 untuk menuju ke pelabuhan Bakauheni, Lampung. Iya, saya menuju ke Lampung untuk berlibur.


Topografi Lampung ini sungguh indah. Sepanjang perjalanan kami disuguhkan lembah dan bukit berbatu. Bukit-bukit di sepanjang pantai Lampung bagian barat dan selatan tersebut merupakan sambungan dari jalur Bukit Barisan. Di tengah-tengah merupakan daratan rendah, sedangkan ke dekat pantai sebelah timur, di sepanjang tepi laut Jawa hingga ke utara merupakan daerah rawa-rawa perairan yang luas. Namun sayang sekali akses jalannya masih banyak yang berlubang dan tidak rata di sepanjang perjalanan saya di Lampung.

Setibanya di homestay sekitar pukul 5 sore. Saya lebih memilih untuk duduk-duduk di warung sembari berbincang dengan Pak Rusdi mengenai banyak hal, sekedar informasi saja, beliau merupakan pemilik homestay tempat kami menginap.

Semakin larut, saya semakin tertarik untuk berbincang mengenai banyak hal dengan Pak Rusdi --- terutama mengenai bahasa--- berhubung penulis merupakan pengajar bahasa di salah satu kampus di Jakarta.


Menurut Pak Rusdi, dan ini sangat penting sekali, di wilayah Lampung sana sangat sedikit warga asli Lampung, kebanyakan merupakan pendatang yang sudah transmigrasi sejak puluhan tahun silam. Makanya kami sedikit heran begitu memasuki wilayah pedesaan karena ada banyak anjing serta bangunan yang menyerupai Pura umat Hindu, di situ merupakan kampung Bali dan saat itu mereka baru saja merayakan hari raya nyepi. Terdapat juga kampung sunda, jawa, dll. Beliau sendiri adalah orang Palembang. Jangan heran pula kalau di sana kami jarang mendengar bahasa Lampung asli karena kebanyakan warganya menggunakan bahasa indonesia serta campuran antara bahasa sunda atau jawa. Ini yang menarik. Sedikit sekali penutur asli bahasa Lampung saat ini. Hal tersebut semakin membuat saya tergoda untuk melakukan sedikit riset kecil-kecilan mengenai bahasa Lampung.

Sampai saat ini, dalam percakapan sehari-hari sebenarnya bahasa Lampung masih digunakan dalam percakapan sehari-hari dalam keluarga. Walaupun sudah banyak pula keluarga yang tinggal di kota sudah tidak lagi menggunakan bahasa Lampung namun menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini sangat disayangkan karena bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa Ibu memiliki kekayaan kultural yang tak tergantikan dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Mengingat betapa pentingnya pelestarian bahasa ibu, maka UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional (International Mother Language Day). Pelestarian bahasa Ibu (Language Maintenance) didefinisikan sebagai upaya yang disengaja, antara lain untuk: 1) mewujudkan diversitas kultural; 2) memelihara identitas etis; 3) memunginkan adaptabilitas sosial; secara psikologis menambah rasa aman bagi anak; dan 5) meningkatkan kepekaan linguistik (Alwasilah: 2006).

Bahasa Lampung adalah ibu dari bahasa melayu modern, termasuk bahasa Indonesia (Ming: 2008). Jumlah penduduk yang bersuku Lampung hanya sekira 20% dari total jumlah penduduk provinsi Lampung yang berjumlah sekitar 8 juta penduduk pada tahun 2016. Dengan demikian sangatlah wajar jika terjadi persaingan bahasa secara alamiah di mana para penduduk yang hidup di Lampung namun bersuku lain lebih suka menggunakan bahasa daerahnya masing-masing daripada menggunakan bahasa Lampung. Serta kurangnya kebanggaan orang Lampung untuk menggunakan bahasa Lampung itu sendiri.

Orang-orang tua sesama suku Lampung mau menggunakan bahasa Lampung tapi anak-anak mudanya lebih menyukai untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat misalnya di wilayah tempat saya berkunjung, percakapan antara warga di sana sama sekali tidak menggunakan bahasa Lampung. Hal ini sangat berbeda dengan penggunaan bahasa jawa di daerah Jawa Tengah maupun Jawa Timur, misalnya. Masyarakat masih menggunakan bahasa jawa sebagai alat komunikasi dalam kesehariannya. Bahkan hampir setiap pendatang mengenal kosakata sederhana, seperti: suwun, nggih, mboten, monggo, dan lain-lain.

Sempat sekali saya mendengar percakapan seorang lelaki paruh baya dengan seseorang melalui telepon genggamnya berbicara dengan bahasa yang menurut saya agak asing di telinga.

“Nah, itu bahasa Lampung asli, Mas. Ngerti?” tanya Pak Rusdi kepada saya yang tentu saja saya jawab tidak mengerti sambil menggelengkan kepala.

“Dia sedang berbicara dengan anaknya di rumah, menanyakan apakah gas di rumah sudah habis atau belum,” Pak Rusdi lanjut menjelaskan maksud dari percakapan bapak tersebut. Meskipun bukan orang asli Lampung, pak Rusdi mengungkapkan bahwa ada sedikit kemiripan antara bahasa Lampung dengan bahasa Palembang sehingga sedikit banyak ia dapat memahami bahasa Lampung – selain tentunya telah lama tinggal di Lampung.

Iya. Bahasa Lampung memang digunakan dalam konteks yang terbatas, yaitu: di rumah, di desa yang ditinggali oleh suku Lampung, dan selama pertemuan tradisional di desa (Departemen Pendidikan dan kebudayaan, 1978 dalam Katubi 2007). Kebanyakan orang yang tinggal di kota besar sudah tak lagi menggunakan bahasa Lampung. Hal ini dapat dilihat di kota Bandar Lampung, misalnya, sangat jarang terdengar percakapan dalam bahasa Lampung. Kebanyakan mereka menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari.

Telah terjadi pergeseran dalam pilihan penggunaan bahasa Ibu dalam keluarga. Semula orang tua yang bersuku Lampung menggunakan bahasa Lampung sebagai bahasa ibu dalam keluarga, namun sekarang banyak orang tua yang memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu anak-anak mereka. Konsekuensinya, anak-anak tidak lagi bisa berbahasa Lampung, karena memang tidak diajari dan tidak lagi menemukan tempat di mana mereka bisa mendengar atau bahkan menggunakan Bahasa Lampung.

Pada tingkat pendidikan formal, pengajaran Bahasa Lampung terjebak pada pembelajaran aksara dan bukan komunikasi dalam Bahasa Lampung. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, misalnya faktor guru dan faktor materi ajar. Guru bahasa Lampung banyak yang tidak memiliki kualifikasi sebagai pengajar bahasa. Sebagian guru yang mengajar bahasa Lampung adalah penutur sejati bahasa Lampung yang ditunjuk untuk mengajar bahasa Lampung. Jadi, guru ditunjuk bukan karena keahliannya dalam mengajar bahasa. Maka sangatlah wajar jika metode yang digunakan tidak memadai dalam mengajarkan bahasa Lampung. Selain itu juga faktor materi ajar. Di sekolah diajarkan materi yang kosakatanya terlalu sulit dan tidak akrab dalam penggunaan sehari-hari. Maka hasilnya banyak anak-anak yang di rumah berkomunikasi dalam bahasa Lampung pun mengalami kesulitan ketika menerima materi pelajaran Bahasa Lampung yang disampaikan oleh guru di sekolah. Selain itu, bahan bacaan dalam bahasa Lampung pun masih sangat terbatas sehingga bagi siswa yang ingin memperdalam pengetahuan bahasa Lampung belum memiliki akses yang memadai (Inawati: 2015).

Sungguh sangat disayangkan. Padahal menurut Prof. Chaedar Alwasilah, guru besar UPI Bandung, pembiasaan penggunaan bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari dan dalam pengajaran bahasa terhadap anak di Sekolah Dasar dan Menengah, sangatlah penting. Karena dalam bahasa tidak hanya terdapat aspek komunikasi saja, melainkan menyangkut juga aspek-aspek di dalam budaya daerah tersebut. seperti pandangan hidup, ilmu pengetahuan, seni sastra dan lain-lain. Dengan kata lain, jika sebuah bahasa telah kehilangan penggunanya, maka hilang pula kebudayaan pengguna bahasa tersebut.

Lalu... apa yang bisa kita lakukan sebagai generasi penerus bangsa? Penerus warisan leluhur, adat istiadat, bahasa, dan budaya? Ada banyak hal. Bisa dimulai dengan Festival Seni Budaya, Pertunjukan Drama, ataupun Sanggar Seni. Belajar dari Jawa Barat dengan Saung Angklung Udjo atau Yogyakarta dengan Rumah Tembi, alangkah baiknya jika Lampung juga memiliki sanggar budaya yang sedemikian rupa sehingga dapat diakses oleh masyarakat umum secara luas. Atau bisa juga dimulai dengan cara merubah pola pikir dari masyarakat itu sendiri, lakukan hal kecil yang saya pikir kita semua bisa melakukannya, yaitu berliterasi di dunia maya. Tulis segala sesuatu tentang Lampung, tentang bahasanya, tentang bagaimana seharusnya masyarakat Indonesia, atau Lampung --- pada khususnya --- menjadi lebih aware terhadap kelangsungan bahasa mereka. Agar kelak, suatu saat tercipta rasa bangga untuk menggunakannya sehari-hari. Agar tidak menjadi sebuah Anomali; alam yang tertata rapi, bahasa yang ditinggal pergi.
Semoga.




Referensi:

Alwasilah, A.C. 2012. Pemertahanan Bahasa Ibu: Kasus Bahasa Sunda. Dalam Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: Sekolah Pasca Sarjana UPI bekerjasama dengan Kiblat.

Arsandi, D. 2013. Menggalakkan Bahasa Lampung di Lingkungan Kampus. (www.academia.edu)

Katubi, O. 2007. Sikap Penutur Jati Bahasa Lampung. Pusat Penelitian dan Kebudayaan (PMB)-LIPI

Putra, K.A. 2013. Revitalisasi Bahasa Lampung. Lampung Post, 13 Februari 2013

Before 30




“Ketika umur lo 27, lo akan mengambil sebuah keputusan penting yang akan mengubah hidup lo.” – Yusuf kepada Ambar, Tiga Hari untuk Selamanya.

Usia 27 bagi beberapa orang adalah angka yang sakral. Masa transisi. Dari anak muda yang mencari jati diri menjadi manusia dewasa yang hakiki. Ketika menginjak usia itu, banyak hal yang telah terjadi dalam hidup. Mulai dari patah hati, penolakan oleh gebetan, penolakan oleh calon bakal gebetan, ditinggal kawin, meninggalnya orang tersayang, gagal masuk universitas negeri, gagal jadi PNS, kena SP dari kantor, ditipu orang, tidak hapal pembukaan UUD 45, sampai yang paling parah mungkin kadar gula darah mulai naik. Iya, segila itu. Saya sendiri kalau mengingat-ingat kehidupan saya selama 27 tahun ke belakang, merasa heran sendiri, “Gila juga ya gue udah lewatin itu semua”. Sambil sesekali menyeka keringat di jidat. Jidat Ariel Tatum.

Pada fase-fase ini, bisa dibilang saat-saat kritis dalam membuat suatu keputusan. Karena keputusan selanjutnya yang dibuat, bisa menentukan akhir dari cerita kehidupan. Jika pada usia 20-an merupakan masa-masa untuk memilih, maka setelah 30, adalah bagaimana kita menjalani keputusan yang telah kita buat. Akan ada beberapa hal yang biasanya terjadi, mungkin juga menjadi titik balik yang akan mengubah hidup kamu selamanya:
1. Teman-teman Mulai Menghilang Satu per Satu
Ketika masih berada di awal usia 20-an, sangat mudah untuk menjaga pertemanan. Datang ke rumah teman, menginap semalam sembari main PS sampai pagi adalah hal yang dulu saya sering lakukan. Saat pertama kali masuk kerja, bahkan ketika sedang sibuk-sibuknya di kantor, saya masih punya akhir pekan untuk sesekali keluar bersama mereka. Ketika menginjak 25, dan ketika satu per satu dari mereka menikah dan kemudian punya anak, mereka makin tenggelam dalam hidup dan fokus masing-masing. Ada beberapa yang karirnya melesat cepat layaknya rudal Korea Utara yang bisa mencapai ribuan kilometer jauhnya mencapai Guam. Ada beberapa yang tak sesukses itu --- meski dulu terkenal pintar di sekolah. Ada yang sudah punya anak dua, dan terlalu sibuk untuk mengiyakan semua ajakan untuk kumpul bareng lagi. Apalagi main futsal bareng. Belakangan, hal tersebut yang mendasari saya untuk memilih olahraga yang bisa dimainkan hanya dengan seorang diri seperti berlari, berenang, bersepeda, dan bercocok tanam.
Mendekati usia 30, arti pertemanan tidak lagi sesempit itu. Tidak semudah mengajak main kapan saja. Tidak. Teman sejatimu adalah mereka yang masih mau mendengar segala keluh kesah, tertawa bersama kekonyolan, dan bercerita mengenai banyak hal. Termasuk minjemin duit.
2. Kebebasan Finansial
Pada usia 27, biasanya kita telah sanggup untuk memenuhi beberapa kebutuhan mendasar; primer, sekunder, atau bahkan tersier. Masih ingat kan pelajaran ekonomi SMP? Kebutuhan akan kendaraan biasanya jadi kebutuhan yang menuntut pengeluaran paling banyak, sampai nyicil bertahun-tahun malah. Melihat kondisi transportasi di Jakarta, ya harap maklum. But, please. From now on... Stop it. Sekarang sudah saatnya untuk berpikir bagaimana bebas dari lilitan kredit serta hutang sebelum memasuki usia 30. Bukan gonta-ganti kendaraan paling terkini, yaa kecuali memang penghasilanmu cukup untuk melakukannya. Ini penting. Penting untuk merancang masa depan. Ketika tenaga tak akan lagi sama, target hidup yang mulai berubah, rambut yang mulai beruban [karena salah pakai shampoo]. Perencanaan mengenai things-to-do sudah harus benar-benar matang. Harus. Sebelum usia 30, sebisa mungkin kita sudah mempunyai beberapa aset serta saving agar kita tenang dan aman dalam menjalani hidup sesuai gaya hidup yang diinginkan. Say good bye to ngopi-ngopi segelas 50 ribu. 49 ribu masih oke lah.
3. Melakukan Apa yang Tidak Ingin Dilakukan
“Kalau selalu melakukan yang sudah bisa dilakukan, kapan kalian akan berkembang?” salah satu penggalan kalimat dalam seminar yang kala itu saya hadiri.
Iya, akan ada banyak hal yang terjadi di luar harapan. Jangan heran. Atau kalau kata anak kids jaman now, terpuqau. Apalagi di dunia kerja. Kadang apa yang kita inginkan tidak sesuai ekspektasi. Di antara jobdesk yang tak menyenangkan itu, pasti akan tetap ada kebaikan di dalamnya. Layaknya patah hati, tak menyenangkan. Tapi bukankah kita bisa mengambil pelajaran pada setiap kejadian? Karena dalam hidup sebenarnya tak ada yang sia-sia.
4. 30 Nanti
-
5. Your Life Starts from... NOW!
Yak! Semua dimulai dari detik ini. Lha wong planning yang dibuat dulu tentang target-target sebelum usia 30 aja masih banyak yang belum tercapai kok, sudah mau bikin planning lagi pas umur 30 ke atas. Apalagi masalah asmara nih ya. Saya telah beberapa kali jatuh cinta -- termasuk pada orang yang salah. Mulai sekarang saya tak akan ambil pusing sama hubungan yang memberatkan dan unfaedah. Yakinlah, di luar sana banyak calon pasangan yang lebih baik tengah menunggu. Karena hanya ada dua tipe orang di dunia ini:
“Mereka yang Tepat Dititipi Separuh Bagian Hati”
“Mereka yang Layak Ditinggal Pergi”
Bertambahnya umur berarti bertambah pula pengalaman dan kebijaksanaan dalam memandang kehidupan. Kita masih punya banyak waktu untuk mengangkat gelas sampanye, mengisi banyak-banyak, dan bersulang untuk kehidupan yang penuh kejutan ini.

Selamat berproses ke pintu 30 tahun! May God always be with us. Bismillah.

Thursday 17 August 2017

Perempuan


  1. Lelaki melakukan lebih banyak daripada apa yang dapat dilakukan perempuan, sedangkan perempuan melakukan apa yang lebih banyak daripada yang berani dilakukan lelaki.
  2. Lelaki dikenal dari apa yang tidak dia lakukan, dan perempuan dikenal dari apa yang dia lakukan.
  3. Dalam hubungan cinta, lelaki berbangga dengan kemenangannya meraih perempuan, sedangkan perempuan berhias dengan ketaklukkannya dihadapan lelaki. Lelaki berbangga dengan mengatakan: “Aku telah menaklukkan perempuan A, B, dan C”. Perempuan berbangga dengan mengatakan: “Aku telah menolak lelaki A, B, dan C.”
  4. Ketika seorang lelaki menangis dihadapan perempuan, sesungguhnya ia telah menyentuh keangkuhan perempuan itu, dan ketika perempuan menangis dihadapan lelaki, sesungguhnya ia telah menimbulkan rasa iba lelaki kepadanya.
  5. Kenikmatan perempuan diperoleh ketika berhasil menghancurkan hati lelaki, sedangkan      kenikmatan lelaki diperoleh ketika dia mampu memuaskan keangkuhan perempuan.
  6. Kebahagiaan di sisi lelaki adalah sukses dalam pekerjaan, sedangkan perempuan adalah sukses bersama lelaki.
  7. Dibalik setiap perempuan yang sukses, terdapat cinta yang gagal, dan di belakang setiap lelaki sukses, terdapat perempuan yang mencintai.
  8. Yang terakhir mati pada lelaki adalah hatinya, sedangkan pada perempuan adalah lidahnya.
  9. Perempuan menginginkan anak yang menyerupai kekasihnya, sedangkan lelaki menginginkan anak yang serupa dengannya, bukan yang serupa istrinya.
  10. Semua jenis pujian menggetarkan hati perempuan, namun tidak semua pujian menyentuh hati lelaki.
  11. Perempuan membinasakan akal lelaki, sedangkan lelaki meremukkan hati perempuan.
  12. Harapan lelaki menjadi keras bagaikan es, sedangkan harapan perempuan menjadi air lalu menguap seperti udara.
  13. Perempuan menganggap pernikahan sebagai stasiun terakhir dalam perjalanan hidupnya, sedangkan lelaki memandangnya sebagai salah satu stasiun, selanjutnya dia akan melanjutkan perjalanannya.
  14. Perempuan tidak akan melupakan ciuman pertama, sedangkan lelaki melupakan ciuman terakhirnya.
  15. Mudah bagi lelaki menutup matanya, tetapi mustahil bagi perempuan menutup telinganya.
  16. Tiga sifat lelaki yang terbaik namun itu terburuk bagi perempuan; berani, rendah hati dan tangan terbuka. Tiga sifat terbaik perempuan namun terburuk bagi lelaki; tinggi hati, sangat hati-hati, dan tangan tertutup.
  17. Lelaki adalah penderitaan cinta, sedangkan perempuan adalah cinta penderitaan.
  18. Lelaki memahami apa yang dia dengar, sedangkan perempuan mendengar apa yang dia tidak pahami.
  19. lelaki senang berpindah-pindah bagaikan wisatawan, sedangkan perempuan senang menetap bagaikan penduduk asli.
  20. Ketika lelaki merasa jemu ia membutuhkan seorang yang mendorongnya agar ia maju ke depan. Ketika perempuan merasa jemu, dia membutuhkan seseorang yang menopangnya dari belakang agar ia tidak terjatuh.
  21. Tuhan menciptakan lelaki dari tanah agar dia dapat menanam di bumi dan membangun di bumi rumah-rumah tempat tinggal. Tuhan menciptakan perempuan dari tulang rusuk lelaki agar dia dapat mendorong lelaki dari bumi ini dan mengusirnya dari rumah yang dibangun lelaki itu.
  22. Lelaki sering tidak mengetahui kapan mengucapkan kata perpisahan bagi perempuan, sedangkan perempuan tidak mengetahui kapan dia harus berpisah.
  23. Ketika lelaki berbicara tentang kebebasan, yang dimaksud adalah kebebasan dari perempuan. Ketika perempuan berbicara keikhlasan, yang dimaksud adalah keikhlasan lelaki kepada mereka.
  24. Lelaki cepat jatuh cinta, sedangkan perempuan lebih cepat membenci.
  25. Lelaki yang tidak tampan dapat menemukan perempuan yang mencintainya, sedangkan      perempuan yang tidak cantik, sulit menemukan lelaki yang mencintainya.
  26. Perempuan lebih suka menikahi lelaki yang kaya walaupun banyak bicara, daripada pendiam namun miskin. Sedangkan lelaki  lebih senang menikah dengan perempuan yang pendiam walaupun miskin, daripada yang kaya namun banyak bicara.
  27. Ketika menjalin hubungan cinta, lelaki berusaha mengangkat perempuan ke peringkat lelaki, tetapi perempuan lebih senang turun ke tingkat lelaki yang disenanginya.
  28. Ketika dua orang lelaki bertengkar, sering kali penyebabnya adalah perempuan, sedangkan  perempuan bertengkar, biasanya penyebabnya juga perempuan.
  29. Lelaki menangis atas apa yang hilang darinya, sedangkan perempuan menangis atas apa yang tidak dia peroleh.
  30. Lelaki letih mencari ketenangan, sedangkan perempuan tidak tenang kecuali mencari keletihan.
  31. Ketika seorang perempuan menikah untuk kedua kalinya itu karena ia membenci suami pertamanya. Sedangkan ketika seorang lelaki menikah untuk kedua kalinya itu karena ia mencintai istri pertamanya. Karena itu perempuan mencoba nasib dan lelaki berspekulasi.
  32. Lelaki diciptakan dari tanah dan perempuan dari tulang. Karena itu, perempuan lebih kuat daripada lelaki dan kekuatannya terletak pada kelemahannya.
Referensi: Buku berjudul Perempuan oleh M. Quraish Shihab

Tuesday 23 May 2017

Pengabdian Masyarakat: Apa itu AFTA? Bagaimana Mempersiapkannya?


Pengabdian Masyarakat adalah salah satu syarat dari Tridarma Perguruan Tinggi. STIBA Nusa Mandiri, bersama dengan PPPM-Nusa Mandiri mengadakan agenda rutin yang setiap semesternya menjadi agenda wajib bagi dosen-dosen di lingkungan Nusa Mandiri. Pengabdian masyarakat kali ini diadakan pada Tanggal 14 Mei  2017, bertempat di BSI Margonda Sawangan, Depok, Jawa Barat.

Hujan deras yang mengguyur kota Depok sepanjang hari, tidak menyurutkan semangat panitia serta dosen-dosen pengajar yang akan memberikan materi mengenai Asean Free Trade Area (AFTA) atau lebih dikenal dengan MEA (Masyarakat Ekonomi Asean). Sesuai agenda, rangkaian kegiatan pengabdian masyarakat rencananya akan dimulai pada pukul 15:30 WIB selepas shalat Ashar berjamaah bersama para pengurus dan peserta panti asuhan.

Acara dipimpin oleh pembawa acara bapak Danang Dwi Harmoko dan dimulai dengan pembacaan doa terlebih dulu. Selanjutnya yaitu sambutan yang disampaikan oleh perwakilan STIBA Nusa Mandiri, Bapak Sayyid Khairunas. Dalam sambutannya, beliau mengungkapkan semoga apa yang diberikan oleh bapak-bapak dosen dari STIBA Nusa Mandiri bermanfaat bagi peserta, terakhir beliau juga berharap semoga ke depannya acara serupa dapat rutin digelar sehingga dapat saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Tiba saatnya bagi STIBA Nusa Mandiri melakukan penyampaian materi. Kali ini sebagai pemateri adalah Bapak Octa Pratama. Terlihat peserta menyimak dengan cukup antusias materi yang diberikan. Terdapat kurang lebih 30 anak yang terdiri dari tingkat SMA yang menjadi peserta pengabdian masyarakat kali ini. Pak Octa menyampaikan kalau Asean Free Trade Area, memberikan dampak fundamental terhadap ketersediaan lapangan kerja dan persaingan kualitas sumber daya manusia khususnya di wilayah Asia Tenggara. Oleh karena itu menyiapkan talenta-talenta muda yang mempunyai kualifikasi unggul sangat penting. Bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi menjadi kemampuan dasar yang harus dimiliki sumber daya manusia Indonesia jika ingin bersaing dengan negara lain di ASEAN.

Pada dasarnya belajar bahasa apapun sama yaitu dimulai dari kebiasaan. Sedangkan kebiasaan tumbuh karena adanya kegemaran. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menumbuhkan kegemaran terhadap bahasa Inggris hingga akhirnya akan tercipta pembiasaan. Diakhiri dengan sesi berfoto bersama, maka berakhir lah rangkaian kegiatan pengabdian masyarakat STIBA Nusa Mandiri kali ini. Semoga saling terjalin kekeluargaan antara STIBA Nusa Mandiri dengan Karang Taruna rangkapan jaya yang berkesinambungan ke depannya.



[Sayyid-STIBA]

Friday 12 May 2017

Big Fish in a Small Pond Effect



Credit: google
Mana yang lebih baik: bekerja di perusahaan prestisius dan dikelilingi oleh orang-orang berbakat, atau di perusahaan yang lebih kecil, di mana kamu bisa menjadi pegawai terbaik di antara orang-orang yang biasa saja?
Sepak bola ternyata merupakan lingkungan yang ideal untuk menguji teori ini.
"Kami percaya bahwa sepak bola adalah laboratorium yang sempurna untuk menjawab banyak pertanyaan terkait karier karena kami dapat mengamati perjalanan karier setiap pemain, kata Jie Gong di Universitas Nasional Singapura, yang baru-baru ini melakukan studi tentang efek Ikan-Besar-di-Kolam-Kecil [Big-Fish-Small-Pond effect] di Liga Inggris.
#Efek peringkat
Efek Ikan-Besar-di-Kolam-Kecil lahir dari pengamatan terhadap ujian masuk sekolah, di mana anak-anak seringkali ditempatkan di sekolah atau tempat yang berbeda berdasarkan kemampuan mereka.

Friday 10 February 2017

Indonesians’ Problems of Speaking English

As an international language, English is needed by people in every corner of the world for different reasons. However, not all nations speak this language that it comes as no surprise to learn that English simply becomes a foreign language in many countries like Indonesia. Therefore, if we want to be able to use English, we have to first study and master the four English language skills, namely speaking, listening, reading and writing. From those four competences, speaking is the ability often presenting people in Indonesia problems. Many Indonesians face some common problems in speaking English.


The first problem facing Indonesians is lack of confidence.  It remains difficult for them to bolster their confidence to communicate in this lingo even though they have learned English since their Primary school. Some of them understand English grammar very well and even score high marks in examinations, but their speaking skill is very poor. The main reasons behind this weakness are they are often too shy to strike up an English conversation and afraid that if they make a mistake, others will laugh at them, causing them to avoid speaking English in front of others.

Next, most Indonesians still do not have sufficient English vocabularies. It is as a result of their little enthusiasm of reading some English texts and opening their dictionary to find out some new vocabularies and idioms. These habits certainly make them often miss two or three important vocabularies  when trying to speak English, leading to their lack of ideas and difficulty to say what they are going to express. Another factor is this language is not our first language. So, naturally, the number of English words we have in our vocabulary is never enough.

Another problem Indonesians are struggling with when communicating in spoken English is their lack of practice. As they think that their confidence to speak English is low and their English vocabularies are insufficient, they will lose interest in practicing English. Then, it is worsened by difficulty people encounter in their environment when they try to speak this tongue. Their environment usually does not support them to frequently practice it. Other people may even think that those speaking English just want to show off. At last, since they do not want to be rejected by the other people around them, they use their native language in daily conversation.   

To sum up, i
t has been generally known that many people face some problems in speaking English as a foreign language in non-English speaking countries like Indonesia. Some of the problems in spoken English experienced by Indonesians are their lack of confidence to use English before others, their insufficient English vocabularies and lack of practice English.