Sunday 15 October 2017

Lampung: Alam yang Tertata Rapi, Bahasa yang Ditinggal Pergi

April 2017, saya beserta 2 orang teman berangkat menuju ke Pelabuhan Merak dari Terminal Kampung Rambutan pada pukul 21:00 untuk menuju ke pelabuhan Bakauheni, Lampung. Iya, saya menuju ke Lampung untuk berlibur.


Topografi Lampung ini sungguh indah. Sepanjang perjalanan kami disuguhkan lembah dan bukit berbatu. Bukit-bukit di sepanjang pantai Lampung bagian barat dan selatan tersebut merupakan sambungan dari jalur Bukit Barisan. Di tengah-tengah merupakan daratan rendah, sedangkan ke dekat pantai sebelah timur, di sepanjang tepi laut Jawa hingga ke utara merupakan daerah rawa-rawa perairan yang luas. Namun sayang sekali akses jalannya masih banyak yang berlubang dan tidak rata di sepanjang perjalanan saya di Lampung.

Setibanya di homestay sekitar pukul 5 sore. Saya lebih memilih untuk duduk-duduk di warung sembari berbincang dengan Pak Rusdi mengenai banyak hal, sekedar informasi saja, beliau merupakan pemilik homestay tempat kami menginap.

Semakin larut, saya semakin tertarik untuk berbincang mengenai banyak hal dengan Pak Rusdi --- terutama mengenai bahasa--- berhubung penulis merupakan pengajar bahasa di salah satu kampus di Jakarta.


Menurut Pak Rusdi, dan ini sangat penting sekali, di wilayah Lampung sana sangat sedikit warga asli Lampung, kebanyakan merupakan pendatang yang sudah transmigrasi sejak puluhan tahun silam. Makanya kami sedikit heran begitu memasuki wilayah pedesaan karena ada banyak anjing serta bangunan yang menyerupai Pura umat Hindu, di situ merupakan kampung Bali dan saat itu mereka baru saja merayakan hari raya nyepi. Terdapat juga kampung sunda, jawa, dll. Beliau sendiri adalah orang Palembang. Jangan heran pula kalau di sana kami jarang mendengar bahasa Lampung asli karena kebanyakan warganya menggunakan bahasa indonesia serta campuran antara bahasa sunda atau jawa. Ini yang menarik. Sedikit sekali penutur asli bahasa Lampung saat ini. Hal tersebut semakin membuat saya tergoda untuk melakukan sedikit riset kecil-kecilan mengenai bahasa Lampung.

Sampai saat ini, dalam percakapan sehari-hari sebenarnya bahasa Lampung masih digunakan dalam percakapan sehari-hari dalam keluarga. Walaupun sudah banyak pula keluarga yang tinggal di kota sudah tidak lagi menggunakan bahasa Lampung namun menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini sangat disayangkan karena bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa Ibu memiliki kekayaan kultural yang tak tergantikan dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Mengingat betapa pentingnya pelestarian bahasa ibu, maka UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional (International Mother Language Day). Pelestarian bahasa Ibu (Language Maintenance) didefinisikan sebagai upaya yang disengaja, antara lain untuk: 1) mewujudkan diversitas kultural; 2) memelihara identitas etis; 3) memunginkan adaptabilitas sosial; secara psikologis menambah rasa aman bagi anak; dan 5) meningkatkan kepekaan linguistik (Alwasilah: 2006).

Bahasa Lampung adalah ibu dari bahasa melayu modern, termasuk bahasa Indonesia (Ming: 2008). Jumlah penduduk yang bersuku Lampung hanya sekira 20% dari total jumlah penduduk provinsi Lampung yang berjumlah sekitar 8 juta penduduk pada tahun 2016. Dengan demikian sangatlah wajar jika terjadi persaingan bahasa secara alamiah di mana para penduduk yang hidup di Lampung namun bersuku lain lebih suka menggunakan bahasa daerahnya masing-masing daripada menggunakan bahasa Lampung. Serta kurangnya kebanggaan orang Lampung untuk menggunakan bahasa Lampung itu sendiri.

Orang-orang tua sesama suku Lampung mau menggunakan bahasa Lampung tapi anak-anak mudanya lebih menyukai untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat misalnya di wilayah tempat saya berkunjung, percakapan antara warga di sana sama sekali tidak menggunakan bahasa Lampung. Hal ini sangat berbeda dengan penggunaan bahasa jawa di daerah Jawa Tengah maupun Jawa Timur, misalnya. Masyarakat masih menggunakan bahasa jawa sebagai alat komunikasi dalam kesehariannya. Bahkan hampir setiap pendatang mengenal kosakata sederhana, seperti: suwun, nggih, mboten, monggo, dan lain-lain.

Sempat sekali saya mendengar percakapan seorang lelaki paruh baya dengan seseorang melalui telepon genggamnya berbicara dengan bahasa yang menurut saya agak asing di telinga.

“Nah, itu bahasa Lampung asli, Mas. Ngerti?” tanya Pak Rusdi kepada saya yang tentu saja saya jawab tidak mengerti sambil menggelengkan kepala.

“Dia sedang berbicara dengan anaknya di rumah, menanyakan apakah gas di rumah sudah habis atau belum,” Pak Rusdi lanjut menjelaskan maksud dari percakapan bapak tersebut. Meskipun bukan orang asli Lampung, pak Rusdi mengungkapkan bahwa ada sedikit kemiripan antara bahasa Lampung dengan bahasa Palembang sehingga sedikit banyak ia dapat memahami bahasa Lampung – selain tentunya telah lama tinggal di Lampung.

Iya. Bahasa Lampung memang digunakan dalam konteks yang terbatas, yaitu: di rumah, di desa yang ditinggali oleh suku Lampung, dan selama pertemuan tradisional di desa (Departemen Pendidikan dan kebudayaan, 1978 dalam Katubi 2007). Kebanyakan orang yang tinggal di kota besar sudah tak lagi menggunakan bahasa Lampung. Hal ini dapat dilihat di kota Bandar Lampung, misalnya, sangat jarang terdengar percakapan dalam bahasa Lampung. Kebanyakan mereka menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari.

Telah terjadi pergeseran dalam pilihan penggunaan bahasa Ibu dalam keluarga. Semula orang tua yang bersuku Lampung menggunakan bahasa Lampung sebagai bahasa ibu dalam keluarga, namun sekarang banyak orang tua yang memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu anak-anak mereka. Konsekuensinya, anak-anak tidak lagi bisa berbahasa Lampung, karena memang tidak diajari dan tidak lagi menemukan tempat di mana mereka bisa mendengar atau bahkan menggunakan Bahasa Lampung.

Pada tingkat pendidikan formal, pengajaran Bahasa Lampung terjebak pada pembelajaran aksara dan bukan komunikasi dalam Bahasa Lampung. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, misalnya faktor guru dan faktor materi ajar. Guru bahasa Lampung banyak yang tidak memiliki kualifikasi sebagai pengajar bahasa. Sebagian guru yang mengajar bahasa Lampung adalah penutur sejati bahasa Lampung yang ditunjuk untuk mengajar bahasa Lampung. Jadi, guru ditunjuk bukan karena keahliannya dalam mengajar bahasa. Maka sangatlah wajar jika metode yang digunakan tidak memadai dalam mengajarkan bahasa Lampung. Selain itu juga faktor materi ajar. Di sekolah diajarkan materi yang kosakatanya terlalu sulit dan tidak akrab dalam penggunaan sehari-hari. Maka hasilnya banyak anak-anak yang di rumah berkomunikasi dalam bahasa Lampung pun mengalami kesulitan ketika menerima materi pelajaran Bahasa Lampung yang disampaikan oleh guru di sekolah. Selain itu, bahan bacaan dalam bahasa Lampung pun masih sangat terbatas sehingga bagi siswa yang ingin memperdalam pengetahuan bahasa Lampung belum memiliki akses yang memadai (Inawati: 2015).

Sungguh sangat disayangkan. Padahal menurut Prof. Chaedar Alwasilah, guru besar UPI Bandung, pembiasaan penggunaan bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari dan dalam pengajaran bahasa terhadap anak di Sekolah Dasar dan Menengah, sangatlah penting. Karena dalam bahasa tidak hanya terdapat aspek komunikasi saja, melainkan menyangkut juga aspek-aspek di dalam budaya daerah tersebut. seperti pandangan hidup, ilmu pengetahuan, seni sastra dan lain-lain. Dengan kata lain, jika sebuah bahasa telah kehilangan penggunanya, maka hilang pula kebudayaan pengguna bahasa tersebut.

Lalu... apa yang bisa kita lakukan sebagai generasi penerus bangsa? Penerus warisan leluhur, adat istiadat, bahasa, dan budaya? Ada banyak hal. Bisa dimulai dengan Festival Seni Budaya, Pertunjukan Drama, ataupun Sanggar Seni. Belajar dari Jawa Barat dengan Saung Angklung Udjo atau Yogyakarta dengan Rumah Tembi, alangkah baiknya jika Lampung juga memiliki sanggar budaya yang sedemikian rupa sehingga dapat diakses oleh masyarakat umum secara luas. Atau bisa juga dimulai dengan cara merubah pola pikir dari masyarakat itu sendiri, lakukan hal kecil yang saya pikir kita semua bisa melakukannya, yaitu berliterasi di dunia maya. Tulis segala sesuatu tentang Lampung, tentang bahasanya, tentang bagaimana seharusnya masyarakat Indonesia, atau Lampung --- pada khususnya --- menjadi lebih aware terhadap kelangsungan bahasa mereka. Agar kelak, suatu saat tercipta rasa bangga untuk menggunakannya sehari-hari. Agar tidak menjadi sebuah Anomali; alam yang tertata rapi, bahasa yang ditinggal pergi.
Semoga.




Referensi:

Alwasilah, A.C. 2012. Pemertahanan Bahasa Ibu: Kasus Bahasa Sunda. Dalam Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: Sekolah Pasca Sarjana UPI bekerjasama dengan Kiblat.

Arsandi, D. 2013. Menggalakkan Bahasa Lampung di Lingkungan Kampus. (www.academia.edu)

Katubi, O. 2007. Sikap Penutur Jati Bahasa Lampung. Pusat Penelitian dan Kebudayaan (PMB)-LIPI

Putra, K.A. 2013. Revitalisasi Bahasa Lampung. Lampung Post, 13 Februari 2013

Before 30




“Ketika umur lo 27, lo akan mengambil sebuah keputusan penting yang akan mengubah hidup lo.” – Yusuf kepada Ambar, Tiga Hari untuk Selamanya.

Usia 27 bagi beberapa orang adalah angka yang sakral. Masa transisi. Dari anak muda yang mencari jati diri menjadi manusia dewasa yang hakiki. Ketika menginjak usia itu, banyak hal yang telah terjadi dalam hidup. Mulai dari patah hati, penolakan oleh gebetan, penolakan oleh calon bakal gebetan, ditinggal kawin, meninggalnya orang tersayang, gagal masuk universitas negeri, gagal jadi PNS, kena SP dari kantor, ditipu orang, tidak hapal pembukaan UUD 45, sampai yang paling parah mungkin kadar gula darah mulai naik. Iya, segila itu. Saya sendiri kalau mengingat-ingat kehidupan saya selama 27 tahun ke belakang, merasa heran sendiri, “Gila juga ya gue udah lewatin itu semua”. Sambil sesekali menyeka keringat di jidat. Jidat Ariel Tatum.

Pada fase-fase ini, bisa dibilang saat-saat kritis dalam membuat suatu keputusan. Karena keputusan selanjutnya yang dibuat, bisa menentukan akhir dari cerita kehidupan. Jika pada usia 20-an merupakan masa-masa untuk memilih, maka setelah 30, adalah bagaimana kita menjalani keputusan yang telah kita buat. Akan ada beberapa hal yang biasanya terjadi, mungkin juga menjadi titik balik yang akan mengubah hidup kamu selamanya:
1. Teman-teman Mulai Menghilang Satu per Satu
Ketika masih berada di awal usia 20-an, sangat mudah untuk menjaga pertemanan. Datang ke rumah teman, menginap semalam sembari main PS sampai pagi adalah hal yang dulu saya sering lakukan. Saat pertama kali masuk kerja, bahkan ketika sedang sibuk-sibuknya di kantor, saya masih punya akhir pekan untuk sesekali keluar bersama mereka. Ketika menginjak 25, dan ketika satu per satu dari mereka menikah dan kemudian punya anak, mereka makin tenggelam dalam hidup dan fokus masing-masing. Ada beberapa yang karirnya melesat cepat layaknya rudal Korea Utara yang bisa mencapai ribuan kilometer jauhnya mencapai Guam. Ada beberapa yang tak sesukses itu --- meski dulu terkenal pintar di sekolah. Ada yang sudah punya anak dua, dan terlalu sibuk untuk mengiyakan semua ajakan untuk kumpul bareng lagi. Apalagi main futsal bareng. Belakangan, hal tersebut yang mendasari saya untuk memilih olahraga yang bisa dimainkan hanya dengan seorang diri seperti berlari, berenang, bersepeda, dan bercocok tanam.
Mendekati usia 30, arti pertemanan tidak lagi sesempit itu. Tidak semudah mengajak main kapan saja. Tidak. Teman sejatimu adalah mereka yang masih mau mendengar segala keluh kesah, tertawa bersama kekonyolan, dan bercerita mengenai banyak hal. Termasuk minjemin duit.
2. Kebebasan Finansial
Pada usia 27, biasanya kita telah sanggup untuk memenuhi beberapa kebutuhan mendasar; primer, sekunder, atau bahkan tersier. Masih ingat kan pelajaran ekonomi SMP? Kebutuhan akan kendaraan biasanya jadi kebutuhan yang menuntut pengeluaran paling banyak, sampai nyicil bertahun-tahun malah. Melihat kondisi transportasi di Jakarta, ya harap maklum. But, please. From now on... Stop it. Sekarang sudah saatnya untuk berpikir bagaimana bebas dari lilitan kredit serta hutang sebelum memasuki usia 30. Bukan gonta-ganti kendaraan paling terkini, yaa kecuali memang penghasilanmu cukup untuk melakukannya. Ini penting. Penting untuk merancang masa depan. Ketika tenaga tak akan lagi sama, target hidup yang mulai berubah, rambut yang mulai beruban [karena salah pakai shampoo]. Perencanaan mengenai things-to-do sudah harus benar-benar matang. Harus. Sebelum usia 30, sebisa mungkin kita sudah mempunyai beberapa aset serta saving agar kita tenang dan aman dalam menjalani hidup sesuai gaya hidup yang diinginkan. Say good bye to ngopi-ngopi segelas 50 ribu. 49 ribu masih oke lah.
3. Melakukan Apa yang Tidak Ingin Dilakukan
“Kalau selalu melakukan yang sudah bisa dilakukan, kapan kalian akan berkembang?” salah satu penggalan kalimat dalam seminar yang kala itu saya hadiri.
Iya, akan ada banyak hal yang terjadi di luar harapan. Jangan heran. Atau kalau kata anak kids jaman now, terpuqau. Apalagi di dunia kerja. Kadang apa yang kita inginkan tidak sesuai ekspektasi. Di antara jobdesk yang tak menyenangkan itu, pasti akan tetap ada kebaikan di dalamnya. Layaknya patah hati, tak menyenangkan. Tapi bukankah kita bisa mengambil pelajaran pada setiap kejadian? Karena dalam hidup sebenarnya tak ada yang sia-sia.
4. 30 Nanti
-
5. Your Life Starts from... NOW!
Yak! Semua dimulai dari detik ini. Lha wong planning yang dibuat dulu tentang target-target sebelum usia 30 aja masih banyak yang belum tercapai kok, sudah mau bikin planning lagi pas umur 30 ke atas. Apalagi masalah asmara nih ya. Saya telah beberapa kali jatuh cinta -- termasuk pada orang yang salah. Mulai sekarang saya tak akan ambil pusing sama hubungan yang memberatkan dan unfaedah. Yakinlah, di luar sana banyak calon pasangan yang lebih baik tengah menunggu. Karena hanya ada dua tipe orang di dunia ini:
“Mereka yang Tepat Dititipi Separuh Bagian Hati”
“Mereka yang Layak Ditinggal Pergi”
Bertambahnya umur berarti bertambah pula pengalaman dan kebijaksanaan dalam memandang kehidupan. Kita masih punya banyak waktu untuk mengangkat gelas sampanye, mengisi banyak-banyak, dan bersulang untuk kehidupan yang penuh kejutan ini.

Selamat berproses ke pintu 30 tahun! May God always be with us. Bismillah.