Tuesday, 10 November 2020

Dunia Virtual

Situasi pandemi yang panjang dengan ketidakpastian yang tidak surut tingkatannya memang menguras energi yang melahkan raga, pikiran juga jiwa. 
Hal itu setidaknya terkonfirmasi dari orang-orang yang berinteraksi dengan saya. Tak hanya orang-orang terdekat seperti keluarga, tetapi juga mahasiswa-mahasiswa saya.

Setiap Senin, saya mengajar di Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) kampus Fatmawati, Jakarta. Ketika ada kesempatan menyampaikan kondisi yang dirasakan saat kuliah virtual, yang nyaris sudah berlangsung satu tahun, konfirmasi itu saya dapatkan.

Sebagian besar mahasiswa kelelahan dan tentunya kewalahan. Bukan semata-mata karena materi kuliah dengan tugas-tugas yang tidak surut, tetapi juga karena situasi "terkurung" yang menyesakkan.

Dari sebagian besar yang kelelahan itu semua menyebut soal kesehatan mental sebagai hal yang mereka khawatirkan. 

Mendapati ini, saya menarik napas dalam-dalam dan berhenti sejenak mengajar. Saya beri ruang mahasiswa melepaskan semua beban dengan mengutarakan. Saya mendengarkan. 

Dengan mengutarakan, beban tidak langsung hilang. Namun, mendengarkan bisa menjadi awal baik untuk mendapatkan pengertian dan pemahaman. 

Saya diingatkan lagi niat awal saya mengajar. Selain berbagi pengetahuan dan pengalaman, mengajar jadi kesempatan saya untuk menyerap pengetahuan dan pengalaman mahasiswa yang berbeda generasi dengan saya.

Lewat ruang yang terbuka, saya mencoba mendengarkan. Sedikit banyak saya menjadi lebih paham apa mimpi, harapan dan kecemasan mahasiswa yang oleh sejarah diletakkan dalam situasi yang tidak mudah ini di usia yang masih muda.
Karena pemahaman ini, tuntutan perkuliahan tidak saya letakkan tanpa diskusi. Pijakan saya tunggal.

Jika mahasiswa gembira dan merasa senang saat mengikuti kuliah yang sulit sekalipun, maka pembelajaran layak dilanjutkan. Jika tidak, perkara perlu diselesaikan.

Untuk mendapati kepastian ini, di awal kuliah saya selalu bertanya kabar. Di tengah kuliah saya ulangi sambil bertanya soal materi. Begitu juga di akhir kuliah untuk keseluruhan materi.

Saya minta mahasiswa mengirim "reaction" sebagai sinyal untuk saya apakah mereka gembira atau sebaliknya.

Tidak adanya perjumpaan langsung, apalagi hanya terlihat baris nama di layar saat perkuliahan, sulit bagi saya untuk bisa menerka-nerka perasaan mahasiswa.

No comments:

Post a Comment

Thanks for the input! :)